Ahl al-Sunah wa-al-Jama’ah merupakan ajaran Islam yang murni, dan sudah ada sejak masa Rasulallah SAW. Hanya saja waktu itu belum terkodifikasi serta terumuskan dengan baik. Gerakan kembali kepada ajaran Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah dimulai oleh dua ulama yang sudah terkenal pada masanya, yakni Imam Asy’ari dan Imam Maturidi. Karena itu, ketika ada yang menyebut Ahl al- Sunah wa al-Jama’ah, pasti yang dimaksud adalah golongan yang mengikuti rumusan kedua iman tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Imam Ahmad bin Hajar al-Haitami dalam Tathhir al-Janan wa al-Lisan, “Jika Ahl al-Sunah wa al-Jama’ah disebutkan, maka yang dimaksud adalah orang-orang yang mengikuti rumusan yang digagas oleh Imam Asy’ari (golongan Asya’riah) dan Imam Maturidi (golongan Maturidiyyah)”. (Tathhir al-Janan wa al-Lisan, 7)
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Thasy Kubri Zadah, sebagaimana yang dikutip oleh DR Fathullahi Khulayf dalam pengantar kitab al-Tauhid karangan Imam Maturidi, “Thasy Kubri Zaddah berkata, ”Ketahuilah bahwa polopor gerakan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam ilmu kalam adalah dua orang. Satu orang bermadzhab Hanafi, sedang yang lain dari golongan Syafi’I. Seorang yang bermadzhab Hanafi itu adalah Abu Mansyur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi. Sedangkan yang dari golongan Syafi’i adalah Syaikh al-Sunnah, pemimpin masyarakat, imam para mutakallimin, pembela sunnah Nabi SAW dan agama Islam, pejuang dalam menjaga kemurnian akidah kaum muslimin, (yakni) Abu al-Hasan al-Asy’ari al-Bashri”. (Kitab al-Tauhid, 7)
Dua orang inilah yang menjadi polopor gerakan kembali pada ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Intisari dari kedua rumusan beliau tersebut tersimpul pada kitab-kitab yang telah diajarkan di pesantren seperti Aqidah al-Awam, Kifayah al-Awam, al-Jawahir al-Kalamiyyah. Jawharah al-Tauhid serta kitab lain yang sudah tidak asing bagi orang-orang yang belajar di pesantren.
Nama lengkap Imam Asy’ari adalah Abu al-Hasan Ali bin Isma’il al-Asy’ari. Lahir di Bashrah pada tahun 260 H /874 M dan wafat pada tahun 324 H/936 M. Beliau adalah salah satu keturunan sahabat Nabi SAW yang bernama Abu Musa al-Asy’ari. Setelah ayahnya meninggal dunia, ibu beliau menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama al-Jubba’i. Karena menjadi anak tiri al-Juba’i, Imam Asy’ari sangat tekun mempelajari aliran Mu’tazilah, sehingga beliau sangat memahami aliran ini. Tidak jarang beliau menggantikan ayahnya menyampaikan ajaran Mu’tazillah. Berkat kemahirannya ini, dan juga posisinya sebagai anak tiri dari salah seorang tokoh utama Mu’tazilah, banyak orang memperkirakan bahwa suatu saat beliau akan menggantikan kedudukan ayah tirinya sebagai salah seorang tokoh Mu’tazilah.
Namun harapan itu tidak sesuai dengan kenyataannya. Fakta berbica lain. Setelah Imam Asy’ari mendalami ajaran Mu’tazillah, terungkaplah bahwa banyak celah dan kelemahan yang terdapat dalam aliran tersebut. Sesudah mengetahui beberapa kelemahan ini, beliau menyendiri dan bertafakur (merenung dan berfikir) selama 15 hari. Ia meminta kepada Allah SWT agar diberi petunjuk tentang langkah terbaik yang akan dilaluinya.
Dalam perenungan tersebut, sampailah beliau pada kesimpulan bahwa sudah saatnya untuk kembali pada ajaran yang murni, yakni ajaran yang telah digariskan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat, serta dilanjutkan oleh ulama Salaf al-Shalih. Imam Asy’ari beranggapan apabila tetap mengamalkan ajaran Mu’tazillah yang sangat mengandalkan akal pikirannya, berarti telah melakukan dosa sosial karena mengajak orang untuk melakukan kemunafikan. Akhirnya beliau mengambil keputusan untuk meninggalkan ajaran Mu’tazillah. Imam Asy’ari kemudian memproklamirkan diri dan mengajak manusia untuk kembali pada ajaran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, seperti yang diajarkan para salaf al-shalih. (Abi Al-Hasan al-Nadwi, dalam Muqaddimah al-Ibanah, 30-30)
Setelah peristiwa ini, banyak kalangan yang memuji keberanian Imam Asy’ari. Ia dijuluki sebagai orang yang telah menyelamatkan akidah umat Islam dari gangguan kelompok-kelompok yang akan merusak kemurnian agama Islam. Beliau diposisikan sebagai pelopor gerakan kembali ke Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Gerakan yang beliau pimpin itu kemudian dikenal dengan sebutan golongan Asy’ariyah. Untuk mengokohkan akidah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Imam Asy’ari menulis banyak kitab, diantaranya al Ibanah an Ushul al Diyanah, Maqalat al Islamiyyin dan lain sebagainya.
Karena keberaniannya ini pula, ulama yang selama itu dibungkam dan ditindas oleh penguasa Mu’tazillah memberikan dukungan pada gerakan yang ia rintis. Maka wajar, jika pengikut beliau dari berbagi kalangan. Para Muhadditsin (ahli hadits), Fuqaha’ (ahli Fiqh) serta para ulama dari berbagai disiplin ilmu mendukung serta menjadi pengikut Imam Asy’ari. Sebagaimana yang dituturkan Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki dalam Mafahim Yajib An Tushahhah, “Sesungguhnya mereka (pengikut Imam Asy’ari) adalah berbagai kelompok dari berbagi Muhaddisin (ahli hadits), Fuqaha (ahli Fiqh) dan Mufassirin (ahli tafsir) dari para imam yang terkemuka. “ (Mafahim Yajib An Tushahah, 111)
Di antara ulama yang mengikuti ajaran beliau dalam bidang akidah adalah Imam Nawawi (wafat tahun 676 H. penggarang kitab Riyadh al-Shalihin), Syaikh Ibnu Hajar al-Asqalani (wafat pada tahun 825 H, penulis kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari serta kitab Bulugh al-Maram), Imam al-Qurtubi, pengarang Tafsir al Qurthubi, Ibn Hajar al-Haitami (wafat tahun 974H. mu’allif kitab al-Zawajir), Imam Zakariyya al-Anshari, pengarang kitab Fath al-Wahhab, serta masih banyak ulama terkenal lainnya.
Tidak sedikit pula ahli tashawwuf terkenal yang menjadi pengikut aqidah Asy’ariyah ini, seperti Abu al-Qasim Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi, penulis kitab al-Risalah al-Qusyairiyyah (376-465 H) dan Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (505 H) (Tabyin Kidzb al-Muftari, 291). Bahkan seorang sufi kenamaan yang bergelar Lisan al-Alawiyyin, yakni penyambung lidah habaib, al-Habib Abdullah al-Haddad, Shahib Ratib al-Haddad mengatakan, “Al-Habib ‘Abdullah bin Alawi al-Haddad berkata, ”Kamu wajib menjaga keyakinanmu, menjernihkan serta mengokohkannya sesuai dengan metode golongan yang selamat (al-Firqah al-Najiyah). Yakni golongan yang telah dikenal diantara sekian banyak golongan Islam dengan sebutan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Mereka adalah oang-orang yang selalu berpedoman pada semua yang telah diteladankan Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Apabila kamu memikirkan dengan pemahaman yang lurus, dan dengan hati yang jernih dalam teks kitab al-Qur’an dan al-Sunnah yang memuat ilmu-ilmu tentang keimanan, dan bila kamu berkaca pada sejarah hidup ulama shalaf yang shalih dari kalangan sahabat dan tabi’in, maka akan kamu ketahui dan kamu yakini bahwa kelompok yang benar akan selalu berada di pihak kelompok yang disebut dengan Asy’ariyyah,…(dan seterusnya)… Ajaran kelompok itu adalah akidah yang menjadi pedoman orang-orang yang benar di semua tempat dan seluruh zaman. Ia merupakan akidah para ahli tashawwuf, sebagaimana yang diceritakan oleh Abu al-Qasim al-Qusyairi RA dalam pengantar kitab Risalahnya. Dan alhamdulilah itu juga merupakan akidah kami (para Habaib), serta keyakinan saudara-saudara kami dari tokoh-tokoh keturunan sayyidina Husain RA yang terkenal dengan sebutan keluarga Alawi, serta aqidah seluruh datuk kami sejak masa Rasulullah SAW sampai saat ini”. (Uqud al-Almas, hal 89)
Lebih lanjut, untuk menambah keyakinan kita, beliau mendendangkan syair :
“Jadilah kamu golongan Asy’ari dalam akidahmu, karena
sesungguhnya mazdhab itu merupakan jalan yang bersih
dari segala penyelewengan dan kesesatan”.
(Uqud al-Almas, 91)
Inilah gambaran tentang kelompok Asy’ariyyah. Berkat kegigihan kelompok ini, agama Islam terhindar dari kerusakan yang disebabkan oleh menjamurnya berbagai aliran yang merusak kenurnian Islam. Karena jasanya yang sangat besar bagi agama Islam, mereka dijuluki sebagai kelompok yang telah menyelamatkan sendi-sendi ajaran Islam. Sebagaimana Ibn Taimiyaah dalam kitab al-Fatawanya dari pernyataan Abu Muhammad al-Juwaini, “Para ulama adalah penolong ilmu-ilmu agama. Sedangkan Asy’ariyyah adalah para penolong Ushul al-Din (akidah)”. (Al-Fatawa, juz IV,hal 24)
Tokoh Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah yang kedua adalah Imam al-Maturidi. Nama beliau adalah Ibnu Manshur Muhammad bin Muhamad bin Mahmud al-Maturidi. Beliau lahir di daerah Maturidi dan wafat di Samarkand pada tahun 333 H/944M.
Seperti telah dijelaskan, beliau adalah seorang yang menganut madzhab Abu Hanifah. Maka wajar, jika kebanyakan ajaran beliau usung, masih merupakan bagian dari mazhab Abu Hanifah, terutama dalam bidang akidah. Karena itu banyak pakar yang menyimpulkan bahwa yang menjadi landasan pijakan Imam Maturidi adalah pendapat-pendapat Abu Hanifah dalam bidang akidah. (Tharikh al-madzhib al-Islamioyyah, juz I, hal173)
Murid-murid beliau yang terkenal ada empat orang yaitu Abu al-Qasim Ishaq bin Muhammad bin Isma’il yang terkenal sebagai Hakim Samarkand, wafat pada tahun 340 H. Lalu Imam Abu al-Hasan ‘Ali bin Sa’id al-Rasthagfani. Kemudian Imam Abu Muhammad ‘Abdul Kharim bin Musa al-Bazdawi, wafat pada tahun 390 H. dan yang terakhir adalah Imam Abu al-Laits al-Bukhari. Satu-satunya tulisan Imam Maturidi yang sampai kepada kita adalah kitab al-Tauhid yang di tahqiq (diedit) oleh DR. Fathullah Khulayf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar